Covid 19 (Confused ...)
Cerpen: Karya Rais frul
Sontak
kaget saat diperjalanan pulang dengan berkendara motor seorang diri, bertemu
dengan teman yang telah lama tidak bersua. Saat itu, aku barusaja habis
berbelanja bahan makanan di sebuah supermarket. Thea namanya, ia dibonceng oleh
entah siapa. Ku sapa ia sambil tetap berkendara dengan teriakan seraya
mengekpresikan kegembiraan pertemuan.
“Hei Thea, akhirnya kita
bertemu disini, bagaimana kabarmu?”
“Raisssssss, kangen bangettt.. Gua baik. Lu apa kabar. Tambah ganteng aja”.
“Yaelah,, dari dulu juga begini muka gua. Sama siapa? Ojek?”
“Gila lu, Arya, pacar gua”.
“Oh.. “
“Raisssssss, kangen bangettt.. Gua baik. Lu apa kabar. Tambah ganteng aja”.
“Yaelah,, dari dulu juga begini muka gua. Sama siapa? Ojek?”
“Gila lu, Arya, pacar gua”.
“Oh.. “
Seolah tak ingin menghentikan motor sekedar
bertegur sapa layaknya pertemuan sahabat lama, kami melanjutkan cerita dengan
tetap berkendara. Tanya jawab memenuhi pertemuan itu seputar hal-hal yang telah
dilakukan selama ini.
“Kamu ga mudik is?”
“Bingung gua, mau pulang atau ngga. Gua takut, saat ini perjalanan lagi ngga aman. Kita ngga tahu apa yang akan terjadi nanti”
“Pulang dulu aja, sebelum karantina wilayah”
“Memang bagusnya gitu yak (begitu ku memanggilnya), gua aman kok disini. Gua takut, keluarga gua di kampung banyak. Takut bawa dan ngenain orang gua mah”.
“Tapi kan lu bisa karantina mandiri dulu, ntar nyesal loh. Bentar lagi udah mau puasa, lu mau puasa dan lebaran disini doang?”
“iya sih, tapi masih ada ngga ya kapal yang beroperasi saat ini?”
“hemm setahu gua emang udah banyak yang ngga lagi, tapi ada satu yang masih. Kapal Divo namanya. Tepatnya di daerah Mesi. Lu kesana aja”.
“Iya ya? Oke nanti gua cari. Makasih ya infonya”
“Oke, gua duluan ya.. hati-hati dijalan”.
“Bingung gua, mau pulang atau ngga. Gua takut, saat ini perjalanan lagi ngga aman. Kita ngga tahu apa yang akan terjadi nanti”
“Pulang dulu aja, sebelum karantina wilayah”
“Memang bagusnya gitu yak (begitu ku memanggilnya), gua aman kok disini. Gua takut, keluarga gua di kampung banyak. Takut bawa dan ngenain orang gua mah”.
“Tapi kan lu bisa karantina mandiri dulu, ntar nyesal loh. Bentar lagi udah mau puasa, lu mau puasa dan lebaran disini doang?”
“iya sih, tapi masih ada ngga ya kapal yang beroperasi saat ini?”
“hemm setahu gua emang udah banyak yang ngga lagi, tapi ada satu yang masih. Kapal Divo namanya. Tepatnya di daerah Mesi. Lu kesana aja”.
“Iya ya? Oke nanti gua cari. Makasih ya infonya”
“Oke, gua duluan ya.. hati-hati dijalan”.
Sudah lama memang aku mencari kapal
yang masih beroperasi menuju kampungku disamping keraguan yang menggangu. Setelah mendapat sedikit info,
terniat untuk pulang dengan segera. Sesampai di kost-an, lekas kucari informasi
mengenai kapal Divo yang disampaikan Thea. Ternyata memang benar, hari terakhir
perjalanan adalah lusa tanggal 19 Maret. Masih ada kesempatan, namun daerah
tersebut sama sekali belum pernah kukunjungi sebelumnya. Kebingungan mulai mengusutkan
mukaku, kendaraan apa yang harus digunakan, dengan siapa akan kubertanya
mengenai lokasi, bermacam pikiran membuatku mengekang kepalaku dengan kedua
tanganku dilengakapi mata yang tertutup dan kerutan kening. Oh ya, bagaimana
jika kutanya dengan teman-teman Whatsappku via status. Mungkin saja ada yang
tahu. Mulai ku ketik perlahan. “Ada yang tahu daerah Mesi? Atau mungkin ada
yang berasal dari sana? Mohon info perjalanan kesana. Terimakasih”.
Penuh harap mengeluguti pikiranku.
Semoga saja ada yang tahu tentang tempat itu. Benar saja, sebuah notifikasi
masuk bertuliskan Hayati. Ya, notif itu balasan dari status yang kubuat. Ia
menyebutkan bahwa ia berasal dari daerah itu. Sungguh kebetulan yang sangat
menguntungkan, iapun akan kesana esok hari. Seperti kesempatan yang dibuka
untukku. Jika ada kemauan, maka selalu ada jalan, pikirku. Segera kusiapkan tas
lucuku yang selalu kugunakan setiap mudik. Mondar mandir kugairahkan untuk
menyiapkan seluruhnya. Kupastikan tidak ada yang tertinggal.
Esok haripun tiba. Perjalanan kumulai
dengan bertemu Hayati disebuah tugu daerah sini yang berada tidak jauh dari
kost-anku. Kami naik angkutan umum yaitu bis yang saat itu memang tidak banyak
orang yang memenuhinya seperti biasa. Duduk bersampingan, kami bercerita
tantang daerah Mesi dan perjalananku pulang. Hayati memang sering berkunjung ke
dermaga kapal Divo sekedar menghilangkan kejenuhan dan sesekali menjemput
saudara yang datang dari daerah lain.
Cukup jauh perjalanan, sekitar 3 jam
lebih dilalui. Sementara menunggu esok, Hayati mempersilahkanku mampir dan
menginap di rumah kontrakan depan rumahnya. Kontrakan itu adalah milik orang
tuanya yang belum berpenghuni.
Lumayan, bisa menginap semalam sebelum esok melanjutkan perjalanan. Kubersihkan
sedikit ruangan yang telah berdebu itu akibat telah lama tidak ditempati.
Hayati mengantarkan secangkir teh untukku, agar tubuhku tetap segar, katanya. Kamipun
berbincang banyak sebelum akhirnya larut mengharuskan Hayati pindah kerumah
depan.
Ditengah malam sebelum
tidurku, kupandangkan mataku keatas langit-langit kamar, entah kenapa aku merasa
sangat gelisah. Seperti tidak ingin meninggalkan tempat ini. Aneh, perasaanku
mulai berkecamuk, pikiranku tak terarah, padahal aku sudah sejauh ini. Kutarik
dalam nafasku lalu kuhembuskan dengan lambai dan mulai menenangkan pikiranku. Kuanggap
keresahan ini hanyalah bisikan-bisikan kecil dari 13 setan disekelilingku.
Kututup telingaku dengan bantal dan mengusir pikiran gaduhku untuk tidur.
Malampun
berganti pagi. Dengan lekas kubereskan Kembali pakaian dan tasku. Aku
berpamitan dengan ayah dan ibu Hayati serta berterima kasih atas banyak
bantuannya. Kutenteng tasku dan beranjak meninggalkan rumah itu. Jarak menuju
dermaga ditempuh dengan ojek yang sudah dipesankan oleh Hayati. Hayati tidak
ikut mengantarku, namun tentu saja telah ia ceritakan arah jalan sejak semalam.
Hanya sekitar lime belas menit hingga sampai didepan sebuah gedung besar
disamping dermaga. Aku masuk perlahan, terlihat banyak orang-orang yang saat
itu juga akan berlayar. Ribut, riwuh, dan masih ramai. Seperti tidak pernah ada
informasi wabah disini. Tempat ini tidak seperti layaknya, cemar dan banyak
sampah membuatku was-was dan merasa khawatir. Kupelankan jalanku menuju sebuah
kursi untuk sejenak beristirahat sambil mencari tempat penjualan tiket. Tidak
hanya ada penumpang, orang-orang yang terlihat biasa dengan pakaian lecet
bahkan seperti preman banyak disini.
Tempat
penjualan tiket belum kutemukan, entah dimana. Kulihat ada seseorang yang
sepetinya penumpang juga duduk tidak jauh dariku. Kulangkahkan kakiku untuk
bertanya padanya. Disetengah jalanku tiba-tiba aku dikagetkan dengan dorongan
pada pundakku dari beberapa orang yang terlihat kumuh dan sebatang rokok
dimulutnya. Seketika amarahku bangkit seolah Ibu-ibu yang naik pitam, “Hei,
tolong jaga ya. Terapkan physical distancing!! Jangan sembarangan. Kamu
ga paham keadaan sekarang??”. Mataku membesar, entah berubah merah atau tidak.
Yang jelas dengan santainya mereka hanya tersenyum dan meninggalkanku dengan
sedikit tawaan. Tanganku mengepal dan gigiku saling merapat saking geramnya.
Mungkin
lantaran suaraku yang besar, beberapa orang datang menghampiriku lalu menyapaku
dengan senang. Ternyata mereka teman-temanku yang hendak pulang dengan
menggunakan kapal Divo juga saat itu. Aku lega, sangat lega. Kuceritakan
kejadian sebenarnya pada mereka. Tak kusangka mereka malah menertawakanku. Tas
ku pun dibantu untuk dibawakan ketempat penjualan tiket. Tiket telah
kudapatkan, tas telah dimasukkan kedalam garasi. Sedikit aman rasanya.
Keberangkatan
dilakukan satu jam lagi. Aku duduk disebuah kursi dekat loket penjualan tiket.
Sementara teman-temanku yang lain pergi membeli beberapa minuman untuk kami.
Sembari menunggu, dengan lamban HP kubuka dan mulai scroll sosmed yang kupunya.
Untungnya sinyal disini masih lancar. Ditengah
keasikanku, sebuah notif muncul, dari nomor tak dikenal. Pesannya berisi “Hai
Rais, ini temanmu Kiki. Kapan kamu pulang? Kudengar tidak ada lagi kapal yang
dierima dikampung kita. Akupun mengurungkan diri untuk pulang. Bagaimana
kabarmu disana?”. Melihat pesan itu. Kepanikankupun muncul. Bagaimana bisa?
Jika tidak diterima, mengapa kapal ini masih akan berlayar kesana. Antara
percaya dengan siapa. Segera kubalas pesan itu dengan langsung menelponnya,
sial !! kenapa sekarang nomornya tidak aktif. Kebingunan mulai lagi mengusutkan
mukaku. Teman-temanku belum juga datang. Kulihat jamku, tiga puluh menit lagi
keberangkatan. Aku bingung akan menghubungi siapa. Kucoba bertanya pada kasir
penjualan tiket. Tapi sangat tidak memungkinkan, orang-orang disini sangat
ramai dan masih banyak yang antri membeli tiket. Petugasnya juga hanya satu
orang. Arghhr,, bagaimana bisa. Akupun meninggalkan tempat itu dan pergi
mencari teman-temanku. Tidak ada tempat jual minuman, warung, apalagi
supermarket. Tempat ini aneh, seperti tidak hidup. Lalu kemana teman-temanku
pergi. Dengan panik aku berlari mengelilingi gedung itu. Tidak juga kutemukan.
Akhirnya aku kembali kedalam. Kuterobos ramainya antrian pembelian tiket.
Dengan sangat memohon aku bertanya pada kasir, namun kemarahan orang-orang
mengalahkan suaraku. Kasirpun tidak mau melayaniku. Kacau, sungguh resah
pikiranku saat itu. Kuputuskan pergi menuju kapal Divo tersebut. Kulihat
beberapa awak kapal yang sedang bertugas mengangkut barang ke garasi. Segera
aku mendekat dan mulai bertanya
“Maaf mas, kapal ini akan tetap berlayar kah?”
“Ya tentu saja”
“Tujuannya adalah kota Melati. Tapi yang saya dengar. Kota itu tidak menerima kapal yang masuk lagi. Apakah itu benar?”
“Belum ada perintah resmi. Bisa jadi itu salah”
“Ya tentu saja”
“Tujuannya adalah kota Melati. Tapi yang saya dengar. Kota itu tidak menerima kapal yang masuk lagi. Apakah itu benar?”
“Belum ada perintah resmi. Bisa jadi itu salah”
Dengan sedikit
berpikir, akhirnya aku menjawab
“baiklah terimakasih mas”
Barangkali benar
yang dikatakan oleh petugas kapal tersebut. Jika belum ada surat resmi, maka
bisa saja berita dari temanku salah. Perlahan aku berjalan menuju tempatku
menunggu. Anehnya, sampai saat ini teman-temanku masih saja belum datang. Huft,
sedikit pusing yang kurasa pada bagian kepalaku.
Sepuluh menit
berlalu. Orang-orang sudah hampir semuanya masuk kedalam kapal. Aku masih
menunggu teman-temanku. Jika lima menit lagi mereka tidak datang, maka aku akan
masuk saja. Aku menyalahkan diriku kenapa kontak mereka tidak aku minta
sebelumnya. Sekarang aku kewalahan sendiri. Suasana mulai hening. Akhirnya
kasir sudah tidak didatangi pembeli. Aku berjalan mendekatinya.
“Mbak, aku mendengar kabar bahwa Kota Melati
tidak lagi menerima kapal yang datang dari manapun. Apa berita itu benar ya?”
“Itu benar”, jawabnya dengan tenang.
“Itu benar”, jawabnya dengan tenang.
Dengan
mengerutkan keningku, akupun bertanya
“Lalu, kenapa kapal ini masih akan berlayar
kesana ya mbak?”
Belum sempat
kasir tersebut menjawab, terdengar suara gemuruh keras dan cuaca gelap terlihat
dari luar. Aku berlari melihat keadaan. Tidak, ini tidak beres. Segera
langkahku pergi ketempat awak kapal petugas barang tadi. Pandanganku tajam
kebawah jalan. Kosong pikiranku, aku akan membatalkan keberangkatan saja,
pikirku. Tasku akan segera kuturunkan kembali, masa bodoh dengan harga tiket.
Apapun yang bisa membuatku kembali balik akan kuusahakan untuk tidak ada disini
lagi. Tempat macam apa ini. Bisa-bisanya Thea menawarkanku pada tempat suram
dan tidak jelas seperti ini. Apakah teman-temanku sudah pulang duluan dan
meninggalkanku sendiri. Betapa tega, tidak habis pikir. Kekesalanku menggelora
dan semakin menjadi-jadi. Namun, aku terhenti seketika, tiba-tiba semuanya
terlihat gelap ditengah jalanku. Tidak ada cahaya, hening, berusahaku untuk
melihat sekitar, kelam. Lemas tubuhku, kupejamkan mataku dengan keras.
Tidak ada yang
dapat kulakukan lagi selain memejamkan mata. Usiaku yang sudah dua puluh tahun
tidak menghalangiku menangis saat itu. Sampai pada akhirnya aku mendengar
panggilan-panggilan kecil namaku yang semakin banyak dan mulai keras. Kubuka
kan mataku perlahan. Kulihat sekitar dengan kepala yang sedikit pusing. Aku
terbaring, dan sepertinya sudah diatas kapal dengan dikelilingi teman-temanku. Mereka
menemukanku tergeletak saat perjalanan menuju kapal, begitu yang mereka katakan.
“Kok aku sudah disini?”
“Iya, tadi kamu pingsan saat kami sudah menemukanmu”
“Menemukanku? Sejak kapan kalian mencariku?”
“Iya, tadi kamu pingsan saat kami sudah menemukanmu”
“Menemukanku? Sejak kapan kalian mencariku?”
Ternyata mereka
juga mengejarku ketika aku berlari mencari mereka. Namun langkahku terlalu cepat dan panik hingga
sulit untuk menyusulku. Akulah yang tidak ditemukan. Mereka juga meminta maaf
karena sudah terlalu lama membuatku menunggu. Hal ini karena jarak ketempat
penjualan minuman memang sedikit jauh. Aku menghembuskan nafas. Dan berterima
kasih telah menolongku. Kota Melati masih menerima kapal yang masuk hari ini.
Informasi dari teman yang menghubungiku tadi memang benar, namun masih berupa
rencana dan belum diresmikan. Aku kembali berbaring dan menikmati perjalanan
hingga sampai ke kota tujuan.
Dari kejadian
itu, aku banyak belajar. Bahwa mengahadapi masalah, bukan dengan kepanikan,
apalagi sampai membuat kita tak karuan. Informasi yang belum jelas datang dan
sumbernya, mestinya ditelaah baik-baik dan tidak untuk langsung membuat kita
senewan. Meredakan kekhawatiran terlebih dahulu lebih panting daripada
buru-buru menyelesaikan permasalahan. Mindset awal yang baik dan tenang akan
membawa penyelesaian masalah yang baik pula. Dan yang pasti mulai sekarang, tak
akan kulupakan untuk meminta kontak teman-teman dan siapapun agar tetap dapat
menghubungi mereka bila mana terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tamat
Kebingungan
(Confused) akan membuat kita terombang-ambing (Vacillated) jika menghadapinya
dengan kepanikan.
Covid 19 (Confused, Vacillated on the 19th)
Bagus ka
BalasHapusWehh keren keren
BalasHapusMa
BalasHapusMantav
BalasHapusKeren kak
BalasHapusKeren kak
BalasHapus